Di tengah maraknya aplikasi pesan instan yang menawarkan kemudahan komunikasi, satu nama kembali menjadi sorotan publik: MiChat. Bukan semata karena fiturnya yang mirip dengan platform percakapan populer lainnya, melainkan karena citra kontroversial yang melekat padanya. Di berbagai ruang diskusi, MiChat sering dilabeli sebagai “aplikasi hijau”—sebuah stigma yang mengaitkannya dengan aktivitas dewasa dan prostitusi daring, meski secara resmi aplikasi tersebut tidak dirancang untuk tujuan demikian.
Label negatif itu pada dasarnya muncul bukan dari desain platform, tetapi dari penyalahgunaan fitur oleh sebagian penggunanya. Fitur People Nearby yang memungkinkan interaksi dengan pengguna di sekitar lokasi menjadi celah yang dimanfaatkan oknum untuk mempromosikan layanan kencan berbayar. Fenomena ini cepat menyebar di media sosial dan memperkuat opini bahwa MiChat identik dengan praktik ilegal, meskipun pihak pengembang telah berulang kali menegaskan penolakannya terhadap aktivitas tersebut dan melakukan penindakan.
Baca Juga :https://abillanya.blogspot.com/2025/12/ratusan-karangan-bunga-penuhi-halaman.html
Namun, dalam pandangan redaksi, persoalan ini tidak dapat dilihat sebagai kesalahan aplikasi semata. Stigma “aplikasi hijau” lebih mencerminkan kegagapan publik dalam menghadapi teknologi yang memberi ruang interaksi terbuka. Aplikasi hanyalah medium; pengguna-lah yang menentukan arah pemanfaatannya. Menyalahkan platform justru menutupi akar persoalan: rendahnya literasi digital, lemahnya pengawasan, serta kurangnya edukasi mengenai keamanan dan etika berinternet.
Memang benar, fitur interaktif mengandung potensi penyalahgunaan. Tetapi memberikan cap sepihak tanpa memahami konteks fungsional aplikasi berisiko melahirkan penilaian yang keliru. Banyak platform lain memiliki fungsi serupa tetapi tidak mengalami stigma negatif setinggi MiChat, yang menunjukkan bahwa citra buruk terbentuk bukan hanya dari fitur, melainkan dari narasi publik yang terlanjur menguat.
Baca Juga : https://abillanya.blogspot.com/2025/12/kisruh-retribusi-pasar-surat-tagihan.html
Oleh sebab itu, redaksi menilai bahwa solusi tidak cukup sekadar memberi label atau memblokir aplikasi. Yang jauh lebih mendesak adalah memperkuat literasi digital, menegakkan hukum terhadap pelaku penyalahgunaan, serta menghadirkan pendekatan edukatif agar teknologi digunakan secara sehat dan bertanggung jawab. Menjadikan aplikasi sebagai kambing hitam hanyalah langkah instan yang tidak menyentuh inti persoalan.
Pada akhirnya, MiChat hanyalah satu contoh bagaimana teknologi dapat berubah citra akibat perilaku sebagian kecil penggunanya. Fenomena ini menjadi pengingat bahwa masyarakat perlu lebih bijak, kritis, dan proporsional dalam menilai sebuah platform. Teknologi tidak memiliki moral; manusialah yang memberi makna pada penggunaannya. Diskusi mengenai keamanan digital seharusnya diarahkan pada pemahaman, bukan stigma; pada edukasi, bukan sekadar kecaman. ( *** )

Posting Komentar
0Komentar